Cerita
Cerita ini sebenarnya niat awal mau dijadikan cerpen yang siapa tau bisa layak dimuat di media entah media mana. Tapi rasanya kok ya nggak PD untuk ngirim naskah yang setelah didiamkan beberapa lama dan dibaca lagi (oleh diri sendiri) kayaknya biasa-biasa saja..hehehe.
So... daripada numpuk di file laptop akhirnya dipostinglah di blog baru ini...
Semoga ada yang bersedia membaca dan memberi apresiasi entah apapun bentuknya bahkan kritik sekalipun...
GAMBAR
KUSAM
Kereta
api yang kutumpangi melaju dengan kencang memecah kegelapan malam melewati
sawah-sawah yang tampak gelap diluar sana. Sepi, seperti aku kesepian dalam
kereta kelas eksekutif yang penuh dengan penumpang ini. Kereta api memang kendaraan
favoritku selain bis malam untuk pulang kampung, ke Jakarta !!??. Sebagai anak
kos-kosan dengan isi kantung terbatas cukuplah uang tabunganku untuk pulang
setiap libur semester dengan menumpang kereta api kelas eksekutif ataupun bis
malam kelas super eksekutif.
Padahal untuk naik kereta api eksekutif ini aku
harus rela mengeluarkan ongkos tambahan untuk naik travel ke Surabaya karena
kereta eksekutif tidak ada yang berangkat ataupun lewat Malang. Tapi apalah
artinya ongkos tambahan bila dibanding dengan suasana berjubel yang harus aku
rasakan dengan naik kereta kelas ekonomi yang tidak dapat membuatku tidur
selama perjalanan dari Malang sampai Jakarta karena kursi yang posisinya tegak
lurus, belum lagi para pedagang yang teriak-teriak menawarkan barang
dagangannya. Huh!! Tak tahu apa orang-orang itu kalau penumpang masih harus
menempuh perjalanan selama 16 jam tanpa bisa tidur kalau mereka teriak-teriak
dan mondar mandir sehingga membuat suasana tidak nyaman apalagi aman bagi
penumpang. Tapi maklumlah mereka juga butuh uang untuk menafkahi keluarga. Yah
itulah memang kondisi transportasi umum yang ada di negara tercinta yang
sesungguhnya kaya ini, angkutan umum jarak jauh sekalipun bukan jaminan dapat
memberi penumpang rasa nyaman dan aman… tidak jauh berbeda dengan naik bis kota
jurusan Kampung Rambutan - Blok M. Jadi kalau para penguasa negeri yang kaya
dengan emas yang bisa diambil dari sungai dengan sebuah wajan yang biasa ada di
dapur untuk menggoreng tahu, yang timahnya tampak berkilauan dari kejauhan tak
hentinya menghimbau masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Himbauan
tersebut sebenarnya hanyalah sebuah upaya untuk mengurangi masalah kemacetan.
Pada kenyataannya penumpang tidak
mendapatkan rasa nyaman dan aman, maka entah kapan negeri ini akan mampu
terbebas dari masalah macet, krisis energi, polusi, dan entah apa lagi berbagai
dampak negatif dari globalisasi. Klise sebenarnya.. karena keluhan tentang
transportasi umum sebenarnya sudah menjadi lagu lama, tapi klise yang sama juga
selalu digunakan untuk menghasilkan foto kehidupan yang sama sampai menjadi usang
dan tidak diperhatikan lagi. Bahkan sebanyak apapun rakyat yang sudah naik bis
kota sampai bergelantungan di bawah ketiak orang yang sudah baunya sudah tak
karuan karena parfum yang dipakai mulai jam 5 pagi tadi saat berangkat kerja
sampai pulang larut malam sudah menguap, tetap saja tidak akan seimbang dengan
jumlah kendaraan yang terus diproduksi dan dibeli oleh masyarakat yang berdaya
beli tinggi.
Aku kembali ke Jakarta,
kota dimana aku tinggal sejak SD sampai sekarang, walaupun sekarang aku pulang
ke Jakarta hanya saat libur semester. Ya, aku sekarang melanjutkan kuliah di
kota Malang yang sejuk dan tenang. Aku kembali ke Jakarta setiap libur semester
karena orangtuaku masih tinggal disana. Walaupun aku betah tinggal untuk
belajar di kota yang sejuk dan tenang seperti Malang, namun aku selalu rindu
untuk selalu pulang ke Jakarta, kota dimana aku dibesarkan. Walaupun banyak
orang yang tidak biasa tinggal di Jakarta selalu beranggapan kota itu begitu
sibuk, padat dan semrawut, namun tidak mempengaruhi kerinduanku untuk selalu
pulang dan mencintai Jakarta.
Kereta api-ku
sekarang memasuki Yogyakarta, kulihat papan nama di stasiun yang baru dimasuki.
Aku menggeliatkan badan untuk sedikit mengurangi penat selama 8 jam perjalanan.
Yah masih kira-kira 7 sampai 8 jam lagi aku harus duduk dalam kereta api ini,
namun aku sudah tidak bisa memejamkan mata lagi. Aku begitu rindu dan tak sabar
untuk segera tiba di Jakarta dan kembali bertemu dengan orangtua serta
sahabat-sahabatku.
Memang banyak
sahabatku yang masih tinggal di Jakarta, ada Ayu, Ebeth, dan sahabatku yang
paling dekat adalah Runi. Runi adalah sahabatku sejak di bangku SMP.
Persahabatanku dengan Runi berawal ketika aku memergokinya sedang berjualan di
pasar. Runi berjualan berbagai jenis bumbu seperti cabai, bawang merah, bawang
putih, kunyit, jahe, lengkuas dan sebagainya di pasar.
“Braa..kk..!!”
“Aduh..rusak
daganganku, kamu ini kerja kok gak becus sih!!!” terdengar jeritan amarah
wanita tua penjual bumbu dapur yang ada di depanku.
“Maaf bu.. saya
tidak sengaja” suara seseorang yang seperti pernah kudengar terasa begitu
ketakutan sambil tangannya mengumpulkan barang dagangan yang jatuh berserakan.
Ternyata suara
itu adalah milik Runi, teman sekelasku di sekolah. Aku terkejut melihat Runi
yang tak tampak terkejut melihatku, dia justru berusaha menghindar dari
tatapanku, tampak begitu malu dan ketakutan karena dimarahi pemilik toko.
“Runi..!! Aku
berusaha memanggilnya ketika wanita gemuk pemilik toko sedang melayani pembeli
lain sehingga untuk sementara omelan terhenti dari mulutnya. Runi menoleh
sebentar tapi dia tampak pura-pura tidak mengenalku.
Aku tak sempat
bertanya lebih lanjut karena ibu menarik lenganku untuk segera beranjak dari
los untuk menuju los di bagian lain pasar yang bau itu.
Selama ini aku
dan Runi memang tidak terlalu akrab. Aku punya kelompok teman-teman akrab
sendiri walaupun sebenarnya aku juga tak pernah pilih-pilih dalam berteman,
tapi secara alamiah seleksi alam terkelompoklah teman-teman akrab itu,
teman-teman yang merasa sama dalam visi dan misi, seperti awal mula
terbentuknya organisasi. Yah aku dan kelompok teman-temanku akhirnya menjadi
pengelola majalah dinding pertama di sekolahku.
Runi sepanjang
yang kutahu selama ini anak yang agak pendiam namun karya-karya puisinya dengan
rutin mengisi mading yang aku kelola
bersama dengan teman-temanku. Aku lebih mengenal Runi lewat karya-karyanya
dibanding mengenalnya secara pribadi.
Di hari Senin
pagi sebelum upacara bendera aku mencoba untuk mendekati dan mengajaknya
bicara.
“Run..” dia
hanya menoleh sebentar tanpa senyum, yang tampak hanya wajah malu dan kemudian
tertunduk lagi.
“Kemarin aku
melihatmu di toko di Pasar Pondok”.
Pasar Pondok
adalah sebutan singkat untuk Pasar Pondok Gede dimana kami para warga Pondok
Gede, Pondok Jati, Jati Waringin, Jati Rahayu dan sekitarnya berbelanja selain
belanja pada pedagang sayur yang lewat setiap hari.
“Selama ini
setiap aku ke pasar tidak pernah melihatmu, baru kemarin aku melihatmu di toko
itu”.
Runi masih
tertunduk malu sampai kudengar suaranya lirih
“Apa kamu ingin
mengolok-olok aku, Han?”
“Apa kamu malu
punya teman menjadi pelayan toko di pasar?”
Kali ini Runi
menatapku dengan sinis dan nada ketus pada suaranya.
“Kenapa kau
berpikiran buruk padaku Run? Aku sama sekali tidak berprasangka apapun
tentangmu, aku hanya ingin ngobrol denganmu”.
Selama ini Runi
ternyata menjadi pelayan di toko di Pasar Pondok Gede jika hari Minggu untuk
membantu orangtuanya menambah penghasilan. Bapak Runi bekerja sebagai kondektur
bis kota jurusan Kampung Rambutan – Blok M. Setiap hari beliau berangkat pukul
5 pagi setelah sholat subuh dan pulang ke rumah pukul 9 malam karena setelah
jam kerja beliau masih bekerja sampingan sebagai petugas kebersihan di
kantornya. Itupun masih ditambah menempuh perjalanan dengan sepeda anginnya
sepanjang 15 km untuk sampai di rumah dan bertemu dengan istri serta keenam
anaknya. Dengan gaji yang sebatas UMR maka tidak mungkin cukup untuk memenuhi
kebutuhan 8 orang yang menjadi tanggungannya di kota besar dengan harga segala
kebutuhan yang selangit.
Sungguh ironis
ternyata di balik kota Jakarta yang disebut sebagai ibukota yang metropolitan dari
sebuah negara yang kaya akan hasil bumi masih terselip orang seperti beliau
dengan anak yang banyak di masa program keluarga berencana dilaksanakan, bahkan
jarak antara setiap anak hanya setahun yang berarti saat anak yang lebih tua
masih berumur 3 bulan sang ibu sudah mengandung sang adik. Saat masa nifas sang
ibu baru berakhir serta sang kakak sedang rakus-rakusnya menghisap asi sudah
harus berbagi dengan adik yang masih dalam kandungan. Maklumlah tak ada hiburan
dalam rumah sempit di gang kecil itu yang bisa membuat tuan rumah terjaga,
akibatnya ya itulah hiburan lain yang menghasilkan buah hati.
Aku kini sudah
tiba di Jakarta dan berada dalam bis kota jurusan Gambir – Kampung Rambutan.
Walaupun ada berbagai jurusan yang berbeda namun kondisi semua bis kota
sama-sama tidak nyaman dan tidak aman. Bis kota yang penuh sesak penumpang
ternyata bukan hanya siksaan bagi penumpang tapi juga memberikan kehidupan yang
belum bisa dianggap layak bagi para awak bis yang menggantungkan hidup darinya.
Gambar kusam kehidupan bukan hanya penumpang yang berhimpitan tanpa rasa nyaman
dan aman, masih banyak gambar kehidupan yang lebih kusam lagi dari sebuah bis
kota.
Sidoarjo, Oktober 2008
Diana Puspitasari
Comments
Post a Comment